ABU ALI AL-HASAN IBNU al-HAITHAM,
PENEMU KAMERA OBSCURA
(965-1039 M)
Tahukah Anda, kata kamera yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Arab, yakni qamara. Istilah qamara muncul berkat kerja keras al-Haitham yang terlahir dengan nama Abu Ali al-Hasan Ibnu al-Haitham di Kota Basrah, Persia, saat Dinasti Buwaih dari Persia menguasai Kekhalifahan Abbasiyah. Al–Haitham menempuh pendidikan pertamanya di tanah kelahirannya, beranjak dewasa ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham lebih tertarik untuk menimba ilmu dari pada menjadi pegawai pemerintah. Kemudian, ia merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia kala itu, yakni kota Baghdad. Di kedua kota tersebut al-Haitham menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir.
Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang didirikan Kekhalifahan Fatimiyah dan secara otodidak, ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat
Jauh sebelum masyarakat Barat menemukan kamera, prinsip-prinsip dasar pembuatannya telah dicetuskan oleh al-Haitham seorang sarjana Muslim, sekitar 1.000 tahun silam, tepatnya pada akhir abad ke-10 M. Penemuan yang sangat inspiratif itu berhasil dilakukan al-Haitham bersama Kamaluddin al-Farisi. Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari. Untuk mempelajari fenomena gerhana, al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai ''ruang gelap''. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori yang dipecahkan Al-Haitham itu telah mengilhami penemuan film yang kemudian disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
Kajian ilmu optik berupa kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia. "Kamera obscura pertama kali dibuat oleh ilmuwan Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu al-Haitham, yang lahir di Basra (965-1039 M),'' ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam karyanya berjudul The eye as an optical instrument: from camera obscura to Helmholtz's perspective. Dunia mengenal al-Haitham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal lewat bukunya bertajuk Kitab al-Manazir (Buku optik). Kitab al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan prinsip kerja kamera obscura Untuk membuktikan teori-teori dalam bukunya itu, al-Haitham lalu menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan sebutan kamera obscura, atau kamar gelap.
Al-Haitham merupakan ilmuwan pertama yang berhasil memproyeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke dalam gambar dengan kamera obscura. Istilah kamera obscura yang ditemukan al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16 M. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh pemikiran al-Haitham mulai mengganti lubang bidik lensa dengan lensa (camera).
Penggunaan lensa pada kamera obscura juga dilakukan Giovanni Batista della Porta (1535–1615 M). Joseph Kepler (1571 - 1630 M), meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar (prinsip ini digunakan dalam dunia lensa foto jarak jauh modern).Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel, jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan al-Haitham, pelat-pelat foto pertama kali digunakan secara permanen untuk menangkap gambar yang dihasilkan oleh kamera obscura.
Foto permanen pertama diambil oleh Joseph Nicephore Niepce di Prancis pada 1827. Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara Inggris selama Perang Crimean. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip kerja kamera obscura ciptaan al-Haitham dengan baik sekali dan George Eastman lah yang menciptakan kamera kodak. Sebuah versi kamera obscura digunakan dalam Perang Dunia I untuk melihat pesawat terbang dan pengukuran kinerja. Pada Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk memeriksa keakuratan navigasi perangkat radio. Begitulah penciptaan kamera obscura yang dicapai al-Haitham mampu mengubah peradaban dunia.
Peradaban dunia modern tentu sangat berutang budi kepada al-Haitham, yang selama hidupnya telah menulis lebih dari 200 karya ilmiah. Semua didedikasikannya untuk kemajuan peradaban manusia. Sayangnya, umat Muslim lebih terpesona pada pencapaian teknologi Barat, sehingga kurang menghargai dan mengapresiasi pencapaian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim.
Sejarah al-Haitham, Sang Penemu Kamera Obscura
Secara serius al-Haitham mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.
Dalam salah satu kitab yang ditulisnya, Alhazen - begitu dunia Barat menyebutnya - juga menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam. Al-Haitham pun mencetuskan teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi.
Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal adalah kemampuannya menggambarkan indra penglihatan manusia secara detail. Tak heran, jika 'Bapak Optik' dunia itu mampu memecahkan rekor sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia. Hebatnya lagi, al-Haitham mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana manusia bisa melihat. Teori yang dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, al-Haitham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.
Secara detail, Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan manusia. Hasil penelitian al-Haitham itu kemudian dikembangkan Ibnu Firnas di Spanyol dengan membuat kaca mata.
Dalam buku lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light On Twilight Phenomena, al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut al-Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Ia pun menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para saintis di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Sayangnya, hanya sedikit yang tersisa bahkan karya monumentalnya, Kitab al-Manazir , tidak diketahui lagi keberadaannya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.
.
Saturday, June 20, 2009
SERI ILMUWAN MUSLIM
Posted by Diah Arie Setiawati at 12:49 PM 0 comments
Wednesday, June 17, 2009
SERI ILMUWAN MUSLIM
ABU NASR MANSUR, PENEMU HUKUM SINUS
(960 M – 1036 M)
Saat masih duduk di bangku sekolah menengah, tentu kita pernah mempelajari istilah sinus dalam mata pelajaran matematika. Sinus adalah perbandingan sisi segitiga yang ada di depan sudut dengan sisi miring. Hukum sinus itu ternyata dicetuskan oleh seorang matematikus Muslim pada awal abad ke-11 M.
Ahli matematika itu bernama Abu Nasr Mansur ibnu Ali ibnu Iraq atau akrab disapa Abu Nasr Mansur (960 M - 1036 M), terlahir di kawasan Gilan, Persia. Keluarganya "Banu Iraq" menguasai wilayah Khawarizm (sekarang, Kara-Kalpakskaya, Uzbekistan). Khawarizm merupakan wilayah yang berdampingan dengan Laut Aral. Di Khawarizm itu pula, Abu Nasr Mansur menuntut ilmu dan berguru pada seorang astronom dan ahli matematika Muslim terkenal Abu'l-Wafa (940 M - 998 M). Otaknya yang encer membuat Abu Nasr dengan mudah menguasai matematika dan astronomi. Kehebatannya itu pun menurun pada muridnya, yakni Al-Biruni (973 M - 1048 M).
Perjalanan kehidupan Abu Nasr dipengaruhi oleh situasi politik yang kurang stabil. Akhir abad ke-10 M hingga awal abad ke-11 M merupakan periode kerusuhan hebat di dunia Islam. Saat itu, terjadi perang saudara di kota sang ilmuwan menetap. Pada era itu, Khawarizm menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah.
Perebutan kekuasaan di antara dinasti-dinasti kecil di wilayah Asia Tengah itu membuat situasi politik menjadi kurang menentu. Pada 995 M, saat Abu Nasr Mansur menjadi pangeran, kekuasaan Banu Iraq digulingkan. Setelah peristiwa itu, Abu Nasr Mansur bekerja di istana Ali ibnu Ma'mun dan menjadi penasihat Abu'l Abbas Ma'mun. Kehadiran Abu Nasr membuat kedua penguasa itu menjadi sukses.
Abu Nasr Mansur menghabiskan sisa hidupnya di istana Mahmud di Ghazna. Beliau wafat pada 1036 M di Ghazni, sekarang Afghanistan. Meski begitu, karya dan kontribusianya bagi pengembangan sains tetap dikenang sepanjang masa. Dunia Islam modern tak boleh melupakan sosok ilmuwan Muslim yang satu ini.
Kontribusi Sang Ilmuwan
Abu Nasr Mansur telah memberikan kontribusi yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebagian karya Abu Nasr fokus pada bidang matematika, yaitu trigonometri, tapi beberapa tulisannya juga membahas masalah astronomi. Abu Nasr berhasil mengembangkan karya-karya ahli matematika, astronomi, geografi dan astrologi Romawi bernama Claudius Ptolemaeus (90 SM – 168 SM).
Dia juga mempelajari karya ahli matematika dan astronom Yunani, Menelaus of Alexandria (70 SM – 140 SM). Abu Nasr mengkritisi dan mengembangkan teori-teori serta hukum-hukum yang telah dikembangkan ilmuwan Yunani itu. Kolaborasi Abu Nasr dengan al-Biruni begitu terkenal. Abu Nasr berhasil menyelesaikan sekitar 25 karya besar bersama al-Biruni. Dalam bidang Matematika, Abu Nasr memiliki tujuh karya, sedangkan sisanya dalam bidang astronomi. Semua karya yang masih bertahan telah dipublikaskan, telah dialihbahasakan kedalam bahasa Eropa, dan ini memberikan beberapa indikasi betapa sangat pentingnya karya sang ilmuwan Muslim itu.
Risalah Abu Nasr membahas lima fungsi trigonometri yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam bentuk astronomi. Artikel menunjukkan perbaikan yang diperoleh Abu Nasr Mansur dalam penggunan pertama sebagai nilai radius. Karya lain Abu Nasr Mansur dalam bidang astronomi meliputi empat karya dalam menyusun dan mengaplikasi astrolab.
Perannya sungguh besar dalam pengembangan trigonometri dari perhitungan Ptolemy dengan penghubung dua titik fungsi trigonometri yang hingga kini masih tetap digunakan. Selain itu, dia juga berjasa dalam mengembangkan dan mengumpulkan tabel yang mampu memberi solusi angka yang mudah untuk masalah khas spherical astronomy (bentuk astronomi).
Abu Nasr juga mengembangkan The Spherics of Menelaus yang merupakan bagian penting, sejak karya asli Menelaus Yunani punah. Karyanya di dalam tiga buku: buku pertama mempelajari kandungan/kekayaan bentuk segitiga, buku kedua meneliti kandungan sistem paralel lingkaran dalam sebuah bola/bentuk mereka memotong lingkaran besar, buku ketiga memberikan bukti dalil Menelaus. Pada karya trigonometrinya, Abu Nasr Mansur menemukan hukum sinus sebagai berikut: a/sin A = b/sin B = c/sin C.
Posted by Diah Arie Setiawati at 9:34 AM 0 comments