“Rriiing…ringgg…rrriiiiingggg” suara handphone di pagi menjelang siang, memecah keheninganku yang sedari tadi asyik ber-face book ria. Suara perempuan di seberang sana terdengar berat dan sedikit menahan isak tangis, “Di….anakku korban pedofilia”. Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir sahabatku.
“Apaaaa……” teriakku seolah tak percaya dengan apa yang diucapkannya. Sontak kutinggalkan komputer tercinta dan melangkah menuju sofa dengan langkah gemetar. Lalu mengalirlah cerita dari si ibu yang dari awal hingga akhir pembicaraan, tidak sanggup menahan tangisnya.
Putra kedua, berusia sebelas tahun, duduk di kelas lima sekolah dasar ternyata telah mengalami kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru laki-laki. Hal ini telah berlangsung selama dua tahun, semenjak si anak berada di kelas tiga. Selain anak sahabatku, ternyata ada banyak anak lain yang menjadi korban pedofilia, dari siswa kelas dua sampai kelas lima.
Siswa laki-laki itu menerima perlakuan yang tak pantas dari seorang guru, yang seharusnya menjadi “orang tua” mereka saat berada di sekolah. Tingkat pelecehan seksual yang dialami para murid pria pun beragam, ada yang “sekedar” disentuh alat vitalnya sampai yang terberat (maaf, saya tidak bisa mencantumkannya karena terlalu vulgar dari sudut tata bahasa). Tempat kejadiannya pun di area sekolah bahkan pernah di mushollah (rumah Allah yang seharusnya dijaga kesuciannya), saat jam istirahat atau di saat pulang sekolah, dimana si anak sedang menunggu jemputan.
“Lalu kenapa baru terungkap sekarang ? Trus bisa ketahuannya gimana, pasti ada yang berubah kan dari sikap atau sifat anakmu ?” tanyaku tak habis pikir…..
“Selama ini mereka diancam oleh pak guru itu, sampai beberapa minggu yang lalu, aku memergoki si kakak sedang onani. Mana ada sih anak sebelas tahun paham masalah beginian, “ curhat sahabatku geram. Dan, proses investigasi pun dimulai, dengan penuh kasih sayang serta kelembutan seorang ayah dan ibu, akhirnya semua perilaku menyimpang dari bapak guru yang telah berkeluarga tersebut terungkap.
Astaghfirullah……Tak henti-hentinya istighfar saya lisankan setiap kali teringat cerita sang sahabat. Apa yang terlintas di benak kita setelah membaca tulisan di atas ataupun setelah mendengar cerita tentang pedofilia yang korbannya pasti anak-anak ? Turut bersimpati, stress, shock, geram, marah, khawatir bahkan takut jika permata hati kita menjadi korban pelecehan seksual (na’udzu billah mindzalik) atau mungkin acuh tak acuh, bukan anak kita ini kok.
Apapun yang kita pikirkan dan rasakan, jika kejahatan dalam hal ini kejahatan seksual terjadi di lingkungan sekitar kita, menimpa orang-orang terdekat walaupun tidak memiliki hubungan darah dengan kita, pastinya membuat kita prihatin.
Bagaimana tidak membuat miris, jika pelaku adalah seorang guru yang sudah seharusnya “digugu” dan “ditiru” di dalam setiap tindak tanduknya.
Orang tua mana yang tidak remuk redam perasaannya, melihat masa depan anak-anaknya telah dirusak oleh seorang pendidik yang pikirannya terasuki oleh setan. Apa yang telah diperbuat oleh bapak guru itu pasti memberikan trauma yang berkepanjangan dan membekas, sulit terbuang dari tiap diri anak-anak yang menjadi korbannya.
Kita diwajibkan lebih peka terhadap perilaku anak dan perubahan-perubahan emosionalnya, termasuk juga dalam menyikapi sejumlah pertanyaan kritis dari sang bocah. Jika ada sebagian orang tua yang masih menganggap tabu tentang pendidikan seks sejak dini, atau bahkan ada orang tua yang marah saat anaknya bertanya suatu hal yang berkaitan dengan seks, seyogyanya mulai saat ini para orang tua mau belajar berpikir luas agar tidak memiliki definisi yang sempit tentang seks.
Penting untuk membekali anak-anak kita dengan pengetahuan seks, karena seks tidak sekedar memiliki artian suatu hubungan intim, tapi lebih luas dari itu. Tentunya sex education yang disampaikan kepada anak-anak menggunakan “bahasa” yang mudah dicerna oleh jalan pikiran mereka dan harus dikaitkan serta dikunci dengan ajaran-ajaran agama yang telah ditetapkan dalam kitab suci kita, Al Quran.
Bagi para korban dan orang tuanya, juga tak perlu malu atau takut untuk berbagi “beban” dengan orang lain karena ini suatu pembelajaran berharga agar kita lebih waspada ternyata orang-orang terdekat dan yang selama ini dipercaya malah tega mendzalimi anak-anak yang tidak berdosa, dengan dalih karena mencintai dunia anak-anak dan ingin lebih dekat dengan mereka.
Upaya hukum juga wajib ditempuh agar pelaku kejahatan seksual menjadi jera dengan ancaman hukuman yang berat, jika selama ini para korban cenderung enggan melapor karena malu, akan menguntungkan pelaku dan kasus pedofilia akan kembali terulang.
Tak bisa dipungkiri, kemajuan jaman membuat para penghuni bumi terkikis moral dan akhlaknya bagi mereka yang gampang tergoyahkan iman serta ketakwaannya, membuat manusia tak lagi merasa khauf (takut), bahwa suatu hari nanti akan dimintakan pertanggung jawaban dari setiap perilakunya di hadapan Dzat Yang Maha Kuasa.
Tuanya dunia membuat tak ada lagi tempat yang aman bagi anak-anak kita, mahluk kecil yang masih putih bak sehelai kertas. Akankah seorang dewasa dengan “jabatan mulia” tega menorehkan tinta hitam di atas kertas bersih putih itu bahkan mencabik-cabik merobeknya ? Hanya orang dewasa yang tak sadar akan keberadaan Allah Al ‘Aliim, yang senantiasa mengetahui segalanya.
Semoga di luar sana masih ada para “pahlawan tanpa tanda jasa” yang sebenar-benarnya dan pantas disebut “pahlawan”, dengan akhlakul karimah yang siap mendampingi, membimbing serta mengantar “khalifah mungil” kita menjadi manusia-manusia yang sholeh, sholihah dunia akhirat dengan ilmu yang dapat diamalkan di jalan Allah SWT. Amiin….
Lantas, jika semua cara telah kita lakukan dari pembekalan agama, pendidikan seks, keterbukaan komunikasi, cara apalagi yang bisa menghindarkan anak-anak tersayang kita dari kejahatan ? Pastinya memohonkan perlindungan kepada Allah As Salaam, Allah Al Mukmin Al Muhaimin untuk si permata hati.
“Ya Allah Ya Tuhanku….Aku mohon perlindungan untuk anakku dan anak-anak keturunannya di dalam pemeliharaanMu dari gangguan syetan yang terkutuk.”
31 March 2009, diah
www.mengikatmakna.wordpress.com
www.PenulisLepas.com