“DUNIA TANPA SEKOLAH” Muhammad Izza Ahsin Sidqi
Saat membaca buku laskar pelangi, kita disuguhkan ketidak adilan wajah pendidikan di negeri ini, dan saat membaca buku ini semakin jelas keprihatinan kita bahwa betapa coreng morengnya dunia pendidikan di negeri tercinta ini.
Muhammad Izza Ahsin Sidqi hanyalah seorang pelajar SMP kelas 2 yang tidak puas dengan apa yang ia dapat di sekolah, sehingga ia mencari pemenuhan kebutuhannya di luar sekolah. Beruntungnya ia memiliki orang tua dengan latar belakang pendidik dan memiliki pula banyak buku-buku bermutu yang tanpa disadari telah membuatnya semakin menggeliat serta mendorongnya untuk sesegera mungkin melepaskan diri dari penjara yang bernama “sekolah”.
Pemberontakan berani dan terkesan radikal serta langka yang dilakukan olehnya benar-benar menjadi fenomenal di negeri ini, bahkan media cetak (Cempaka, Jawa Pos, Radar Semarang, Academia, Solo Pos) dan elektronikpun (RCTI) meliputnya. Yang membuat orang terperangah, bukan hanya karena keberaniannya menerjang tradisi dan bahkan dianggap tabu bagi seorang anak pendidik yang relijius, tetapi alasannya yang sangat masuk akal sebagai seorang anak kelas 2 SMP, terkesan seolah ia memahami essensi kehidupan yang sebenarnya. Ia beranggapan bahwa sekolah hanya memasung kreativitas, membelenggu mimpi-mimpinya dan hanya akan mencetak manusia menjadi pembebek kelak. Ia sangat percaya pada focus power (kekuatan fokus) sehingga ia berani menentukan pilihannya untuk menjadi penulis, walau harga yang harus ia bayar demi idealismenya berupa deraan konflik batin selama berbulan-bulan sebelum ia benar-benar keluar dari sekolahnya dan kemudian mengikuti program homeschooling. Terobosan melawan arus yang dilakukan Izza mendapat reaksi yang berat dari orang-orang disekelilingnya, terutama dari kedua orang tuanya, yang pada awalnya memang sangat menentang keputusannya walau argumen-argumen yang ia sodorkan sangat masuk akal.
Sistem pendidikan yang dikritik Izza adalah tentang teori pembelajaran di negeri ini yang bersifat behavioristik yaitu konsep belajar dipahami sebagai kegiatan meniru, hanya memindahkan pengetahuan, jadi pikiran hanya berfungsi sebagai alat penjiplak struktur pengetahuan, berarti kecenderungan yang terjadi adalah bahwa para pendidik lebih tertarik pada upaya pengembangan dan menguji daya ingat anak didik dari pada mengembangkan kemampuan berpikirnya, hal ini jelas hanya mengedepankan pengembangan otak sebagai organ perekam dari pada sebagai organ berpikir, konsep tersebut cenderung menekankan bekerjanya otak kiri (gudang bahasa). Berbeda dengan tuntutan Izza yang lebih mengedepankan konsep belajar sebagai kegiatan menggali makna, sehingga pengetahuan menjadi bermakna jika berguna dalam kehidupan sehari-hari, dan pikiran berfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang unik, konsep tersebut cenderung menekankan bekerjanya otak kanan (artikulasi), hal demikian disebut sebagai teori pembelajaran yang bersifat konstruktivisme. Selain itu ia mengkritik keberadaan guru yang terkesan otoriter, semena-mena terhadap anak didik, sehingga tidak menciptakan rasa nyaman dan aman, oleh karenanya tidak aneh bila ia menganggap sekolah seperti sindrom yang merampas kebahagiaannya.
Konsep pendidikan kita memang telah lama mengalami dis-orientasi dalam hal pengembangan keseimbangan otak kiri dan otak kanan. Berangkat dari keprihatinan atas peristiwa yang dialami Izza ini, semoga memberi hikmah dan menginspirasi kita, terutama yang berkompeten untuk peduli agar sesegera mungkin membenahi sistem pendidikan di negeri ini. AMIN.
SEMOGA BERMANFAAT.
Suzy – VNI 3 KN 9/18
0 comments:
Post a Comment