.

SELAMAT TAHUN BARU 2010 M

Wednesday, November 5, 2008

Ternyata, IKHLAS Mempunyai Saudara Kembar

Kita sering mendengar kata ikhlas diucapkan orang. Misalnya sang dermawan berkata “ Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ikhlas “. Anehnya, dia mengharapkan si penerima derma mau mencoblos tanda gambar dalam pemilihan Ketua RT minggu depan. Sang dermawan akhirnya merasa kesal ketika ia memperoleh suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya dalam hasil perhitungan suara

Kita gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan suatu kebaikan untuk orang lain. Tetapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong, sama sekali tidak mengucapkan terima kasih (baik dalam bentuk lisan maupun terima kasih dalam bentuk yang lain).

Lalu, diam-diam kita mencap orang tersebut sebagai “orang yang tak tahu berterima kasih”. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati, cukup membuat kita kapok untuk menolongnya lagi di kemudian hari.

Beberapa waktu lalu, ada kejadian aneh di daerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami rata-rata pada berlubang dan ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih menganga. Tapi di sore hari, jalan itu telah berubah menjadi mulus tak berlubang sedikit pun.

Di malam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis melihat kejadian itu. Si tokoh masyarakat ini terharu karena ada orang yang tak diketahui identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal,
para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembug
mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti.

Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu
satu “apakah” lainnya.

Tapi, saat itu jalan tersebut mendadak mulus hanya dalam
beberapa jam saja. Sementara tak seorangpun tahu siapa sang dermawan di balik ini semua. Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti si penderma misterius tersebut.

Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul di forum rapat diingatkan juga bahwa betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas, kecuali diri kita
sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia.

Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa
menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa
mengatakan “saya ikhlas”. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-
benar ikhlas, maka hati kita dan Dia yang tahu segalanya.

Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik
untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita
tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika
ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak.
Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang
kita lakukan, bukan penilaian manusia.
Dan jika demikian, mengapa
orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?

Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak
mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas
bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana
bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang
disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya, "Menurut
pendapatmu, ikhlas itu apa?" Jawab si Murid, "Ikhlas berarti kita
melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang telah kita
perbuat.
"

"Seperti apa misalnya?" lanjut Sang Guru. "Maaf, guru." kata si Murid, "Seperti ketika Guru buang hajat," lanjutnya. "Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan Guru tidak ingin mengingat-ingatnya."
"Oh, begitu ya?" kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang
merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga
hati. "Kalau begitu…." lanjut Sang Guru. "Di dunia ini tidak akan ada
satupun manusia yang benar-benar ikhlas." Sekarang sang Murid
terperanjat.

Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru
melanjutkan. "Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum
Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang
digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini." Agak geli
mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata, "Guru, itu adalah arti
kata taat. Bukan ikhlas."

"Benar sekali," potong Sang Guru. "Karena, keikhlasan itu saudara
kembar dari ketaatan
. Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng”.
Sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar, "Orang-orang
yang taat, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya
itu
." Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taat orang-
orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan
bahwa setiap perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya
keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan
perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut
sebagai pahala.

Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari
pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan
menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatan seorang hambaNya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan.

Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaati hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula. Begitu juga sebaliknya, dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.

"Guru," kata si Murid. "Bukankah lebih baik jika kita tidak
mengharapkan imbalan dari Tuhan?" Sang Guru menjawab, "Itu betul,"
katanya. "Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari
Tuhanmu." lanjutnya. "Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa
yang terucap dihatimu." Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan
itu sangat senang jika hamba-hambaNya yang baik menggantungkan beribu
harapan kepadaNya.
Itulah mengapa Dia disebut sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan.

Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Si hamba tidak berat sebelah, ia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu.

Maukah kita membuat Tuhan suka?

….padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan (QS Al Lail [92] : 19-21)

October 26, 2008

By Diah A.






0 comments: